Sejauh ini, Ujian Nasional (UN) merupakan satu-satunya kebijakan tersisa yang menahan jebolnya bendungan keindonesiaan kita.
Dalam tahun-tahun terakhir, ruang publik
terlalu hiruk-pikuk oleh implementasi teknis kebijakan (UN, sertifikasi
guru, wacana komersialisasi BHP). Kita mengabaikan arah-besar politik
pendidikan yang sedang berlangsung.
Beberapa kebijakan dan undang-undang semakin
jelas menunjukkan benang-merah ancaman disintegrasi dan politik
primordial atas nama desentralisasi pendidikan. Kenyataan ini menghentak
kesadaran.
Kita perlu berhenti sejenak dan melihat
kembali kebijakan-kebijakan itu dalam satu rangkaian untuk menemukan
titik-titik tergerusnya bendungan kebersamaan sebagai bangsa! Tanpa
maksud membela UN yang substansi dan mekanismenya harus dirombak itu,
tulisan ini mau menegaskan betapa sentral konsepsi UN bagi cita-cita
keindonesiaan. Bersama kebijakan kurikulum, manajemen sekolah, pendanaan
dan guru, UN memberi makna ‘nasionalnya’ pendidikan yang tidak sekedar
administratif-politis.
UU BHP, KTSP dan Lainnya
Setelah UU Sisdiknas 2003, Undang-Undang No.
9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) adalah produk
hukum pendidikan paling kontroversial yang mencuatkan ancaman
disintegrasi. Sayangnya, ancaman itu luput total dari perdebatan.
Menurut UU tersebut, hanya BHP Pemerintah
pada tingkat pendidikan tinggi yang kepentingannya diwakili langsung dan
berada di tangan Menteri Pendidikan Nasional (Pasal 21 ayat 2).
Pendidikan dasar dan menengah berada dalam kendali kepala daerah.
Besarnya kewenangan daerah dipertegas aturan
bahwa pemerintah daerah turut menanggung pembiayaan pendidikan dasar
dan menengah, tetapi pendanaan pendidikan tinggi hanya pada pemerintah
pusat dan masyarakat (Pasal 41).
Desain seperti itu rawan. Pertama, tidak
semua kepala daerah cukup berkompeten dan berkomitmen memajukan
kesejahteraan rakyat, termasuk dalam pendidikan.
Desentralisasi pemerintahan sejak 2002 mengajarkan hal itu.
Kedua, warna politik primordial (kesukuan
maupun keagamaan) akan sangat kental menentukan arah dan warna kebijakan
pendidikan di setiap daerah.
Dari pengalaman kita belajar, implementasi
kebijakan teknis seperti Kurikulum Tingkat Satuan Pengajaran (KTSP)
justru menyuburkan politik primordial karena desentralisasi kewenangan
tidak disertai mekanisme evaluasi memadai secara nasional.
Ada kasus di wilayah Jakarta, melalui KTSP
guru memancang materi didaktik yang tidak proporsional bagi penyemaian
semangat kebersamaan. Misalnya, mengajarkan murid-murid kelas 1 SD di
hari pertama bersekolah, tentang perbedaan agama, jenis kelamin dan
warna kulit mereka.
Apa pentingnya murid kelas 1 SD mengenal perbedaan-perbedaan itu tepat di hari pertama mereka bersekolah?
Contoh lain. Di wilayah Banten, ada
ketentuan lulusan SD yang hendak mendaftar ke sebuah SMP Negeri harus
sudah menyelesaikan pelajaran keagamaan tertentu yang lamanya empat
tahun. Di Yogyakarta, entah aturan dari mana, siswa wanita pada sebuah
SMA Negeri diharuskan mengenakan penutup kepala. Kita membayangkan guru
dan sekolah negeri di wilayah timur Indonesia menerapkan aturan
mayoritas penduduk di wilayah itu.
Serpihan-serpihan tersebut memrihatinkan.
Satu demi satu bendungan keindonesiaan dalam pendidikan kita jebol oleh
praktek primordial yang semakin terbuka melalui distribusi otoritas
manajerial dan pedagogis ke daerah dan sekolah.
Alih-alih menguatkan kesadaran dan pemahaman
identitas kultural kolektif sebagai bangsa Indonesia, pendidikan kita
akhir-akhir ini justru menggerus kebersamaan.
UN dan Politik Terkini
Dalam konteks itu, UN diharapkan menjadi
bendungan terakhir yang menyatukan gagasan keindonesiaan dalam
pendidikan. Substansi dan mekanismenya harus dirombak, tetapi konsepsi
UN menegaskan payung dan nilai kebersamaan yang harus dipertahankan.
Meskipun demikian, upaya memertahankan UN
tidak mudah. Hingga kini kepastian hukum UN masih menunggu hasil kasasi
persidangan citizen lawsuit dengan kedudukan terakhir 2:0 untuk
kekalahan pemerintah di pengadilan negeri dan tinggi.
Sementara itu, peta politik nasional segera
berubah dengan arah yang belum jelas, khususnya bagi masa depan
pendidikan dan keindonesiaan kita. Dengan anggaran 200 triliun lebih,
pendidikan dipastikan menjadi rebutan.
Dalam sejumlah mailing-list beredar kabar
(dan kekhawatiran), salah satu calon presiden menjanjikan posisi
Mendiknas bagi sebuah partai yang nyaris menarik dukungannya. Mengingat
platform partai tersebut dan karakter pendidikan sebagai ekosistem
kaderisasi yang efektif, jika kabar itu menjadi kenyataan, maka jebolnya
bendungan terakhir keindonesiaan dalam pendidikan hanya masalah waktu.
Agus Suwignyo, Pedagog FIB UGM
(Kompas, 29 Mei 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar