Rabu, 04 Mei 2016

UN, Bendungan Terakhir

Sejauh ini, Ujian Nasional (UN) merupakan satu-satunya kebijakan tersisa yang menahan jebolnya bendungan keindonesiaan kita.
Dalam tahun-tahun terakhir, ruang publik terlalu hiruk-pikuk oleh implementasi teknis kebijakan (UN, sertifikasi guru, wacana komersialisasi BHP). Kita mengabaikan arah-besar politik pendidikan yang sedang berlangsung.
Beberapa kebijakan dan undang-undang semakin jelas menunjukkan benang-merah ancaman disintegrasi dan politik primordial atas nama desentralisasi pendidikan. Kenyataan ini menghentak kesadaran.
Kita perlu berhenti sejenak dan melihat kembali kebijakan-kebijakan itu dalam satu rangkaian untuk menemukan titik-titik tergerusnya bendungan kebersamaan sebagai bangsa! Tanpa maksud membela UN yang substansi dan mekanismenya harus dirombak itu, tulisan ini mau menegaskan betapa sentral konsepsi UN bagi cita-cita keindonesiaan. Bersama kebijakan kurikulum, manajemen sekolah, pendanaan dan guru, UN memberi makna ‘nasionalnya’ pendidikan yang tidak sekedar administratif-politis.
UU BHP, KTSP dan Lainnya
Setelah UU Sisdiknas 2003, Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) adalah produk hukum pendidikan paling kontroversial yang mencuatkan ancaman disintegrasi. Sayangnya, ancaman itu luput total dari perdebatan.
Menurut UU tersebut, hanya BHP Pemerintah pada tingkat pendidikan tinggi yang kepentingannya diwakili langsung dan berada di tangan Menteri Pendidikan Nasional (Pasal 21 ayat 2). Pendidikan dasar dan menengah berada dalam kendali kepala daerah.
Besarnya kewenangan daerah dipertegas aturan bahwa pemerintah daerah turut menanggung pembiayaan pendidikan dasar dan menengah, tetapi pendanaan pendidikan tinggi hanya pada pemerintah pusat dan masyarakat (Pasal 41).
Desain seperti itu rawan. Pertama, tidak semua kepala daerah cukup berkompeten dan berkomitmen memajukan kesejahteraan rakyat, termasuk dalam pendidikan.
Desentralisasi pemerintahan sejak 2002 mengajarkan hal itu.
Kedua, warna politik primordial (kesukuan maupun keagamaan) akan sangat kental menentukan arah dan warna kebijakan pendidikan di setiap daerah.
Dari pengalaman kita belajar, implementasi kebijakan teknis seperti Kurikulum Tingkat Satuan Pengajaran (KTSP) justru menyuburkan politik primordial karena desentralisasi kewenangan tidak disertai mekanisme evaluasi memadai secara nasional.
Ada kasus di wilayah Jakarta, melalui KTSP guru memancang materi didaktik yang tidak proporsional bagi penyemaian semangat kebersamaan. Misalnya, mengajarkan murid-murid kelas 1 SD di hari pertama bersekolah, tentang perbedaan agama, jenis kelamin dan warna kulit mereka.
Apa pentingnya murid kelas 1 SD mengenal perbedaan-perbedaan itu tepat di hari pertama mereka bersekolah?
Contoh lain. Di wilayah Banten, ada ketentuan lulusan SD yang hendak mendaftar ke sebuah SMP Negeri harus sudah menyelesaikan pelajaran keagamaan tertentu yang lamanya empat tahun. Di Yogyakarta, entah aturan dari mana, siswa wanita pada sebuah SMA Negeri diharuskan mengenakan penutup kepala. Kita membayangkan guru dan sekolah negeri di wilayah timur Indonesia menerapkan aturan mayoritas penduduk di wilayah itu.
Serpihan-serpihan tersebut memrihatinkan. Satu demi satu bendungan keindonesiaan dalam pendidikan kita jebol oleh praktek primordial yang semakin terbuka melalui distribusi otoritas manajerial dan pedagogis ke daerah dan sekolah.
Alih-alih menguatkan kesadaran dan pemahaman identitas kultural kolektif sebagai bangsa Indonesia, pendidikan kita akhir-akhir ini justru menggerus kebersamaan.
UN dan Politik Terkini
Dalam konteks itu, UN diharapkan menjadi bendungan terakhir yang menyatukan gagasan keindonesiaan dalam pendidikan. Substansi dan mekanismenya harus dirombak, tetapi konsepsi UN menegaskan payung dan nilai kebersamaan yang harus dipertahankan.
Meskipun demikian, upaya memertahankan UN tidak mudah. Hingga kini kepastian hukum UN masih menunggu hasil kasasi persidangan citizen lawsuit dengan kedudukan terakhir 2:0 untuk kekalahan pemerintah di pengadilan negeri dan tinggi.
Sementara itu, peta politik nasional segera berubah dengan arah yang belum jelas, khususnya bagi masa depan pendidikan dan keindonesiaan kita. Dengan anggaran 200 triliun lebih, pendidikan dipastikan menjadi rebutan.
Dalam sejumlah mailing-list beredar kabar (dan kekhawatiran), salah satu calon presiden menjanjikan posisi Mendiknas bagi sebuah partai yang nyaris menarik dukungannya. Mengingat platform partai tersebut dan karakter pendidikan sebagai ekosistem kaderisasi yang efektif, jika kabar itu menjadi kenyataan, maka jebolnya bendungan terakhir keindonesiaan dalam pendidikan hanya masalah waktu.
Agus Suwignyo, Pedagog FIB UGM
(Kompas, 29 Mei 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar