Yang dimaksud dengan orang tua tunggal (dalam konsep Barat disebut single parent) dalam bahasan ini ialah orang tua
dalam satu keluarga yang tinggal sendiri yaitu ayah saja atau ibu saja. Orang
tua tunggal dapat terjadi karena perceraian, atau karena salah satu
meninggalkan kelaurga, atau karena salah satu telah meninggal dunia.
Kejadian
itu dapat menimpa siapa saja, baik muda maupun tua dalam kondisi yang berbeda
satu dengan yang lainnya. Mungkin karena suatu sebab ayah meninggal dunia,
sehingga ibu menyendiri bersama dengan keluarganya. Dalam keadaan seperti itu
orang tua tunggal dihadapkan kepada kenyataan dan tantangan untuk melakukan
berbagai tugas dan fungsi keluarga sendiri.
Keluarga tunggal mempunyai situasi dan
kondisi khas yang mungkin berbeda dengan keadaan keluarga utuh. Situasi itu
akan membawa berbagai kemungkinan munculnya berbagai masalah, termasuk dalam
masalah- masalah resiko psikologis. Dalam keluarga tunggal ayah atau ibu harus
melaksanakan dua fungsi sekaligus yaitu fungsi ayah dan atau fungsi ibu.
Fungsi-fungsi keluarga seperti fungsi ekonomi, fungsi pendidikan, fungsi
sosial, fungsi budaya dsb. Harus dipikul sendiri. Misanya, dalam keluarga
tunggal, ibu harus berfungsi pencari nafkah dan memecakan berbagai masalah- masalah
keluarga disamping fungsi-fungsi lainnya yang sudah biasa dilakukan. Dalam
keadaan seperti beberapa masalah psikologis yang muncul antara lain masalah
ketiadaan tokoh figur sebagai panutan bagi anak-anak, masalah frustasi, masalah
stres atau defresi, masalah konflik ketiadaan teman berkomunikasi komunikasi
inter dan antar keluarga, dan masalah- masalah lainnya. Anak-anak kehilangan
tokoh figur keteladanan yang biasanya dilakukan bersama ayah. Berbagai
kekecewaan akan muncul sebagai akibat berkurangnya pendapatan setelah ketiadaan
ayah, sehingga menimbulkan masalah- masalah lainnya. Belum lagi masalah status
“janda” bagi kaum ibu akan memberikan dampak psikologis tersendiri. Dan mungkin
masih banyak seribu satu macam masalah yang mungkin muncul dalam situasi orang
tua tuanggal. Masalah- masalah itu dapat berkembang kearah kerugian keluarga
kalau tidak mampu diatasi dengan sebaik-baiknya.
Dalam menghadapi masalah- masalah
keliarga tunggal, setiap oran tua akan mempunyai cara dan kiat yang berbeda
satu dengan lainnya tergantung kepada kondisi masing-masing. Ada yang mampu
bertahan secara mandiri sehingga menjadi sukses dan mungkin lebih sukses bila
dibandingkan dengan keluarga utuh. Ada yang menyerah sama sekali kepada keadaan
tanpa mampu berbuat apa-apa sehinga berlanjut dengan kehancuran keluarga. Kalau
memperhatikan berbagai gejala dan pengalaman bebagai keluarga tunggal dalam
menghadapi tantangan hidupnya, maka sekurang-kurangnya ada tiga tipe orang tua
tunggal, yaitu tipe mandiri, tipe tergantung dan tipa tak berdaya.
Tipe pertama adalah tipe mandiri yaitu
mereka yang mampu menghadapi situasi sebagai orang tua tunggal dan mampu
mengatasi masalah-masalahnya dengan sukses. Tipe ini biasanya mampu melanjutkan
perjalanan hidup keluarganya dengan sukses. Ia menyadari kenyataan yang
dihadapinya dan mampu mengembangkan berbagai ketereampilan hidup untuk
mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya. Segala masalah keluarga dapat
diatasinya, anak-anaknya mampu dididik sehingga sekolahnya berhasil dan
kemudian menjadi keluarga yang sukses. Keadaan ekonomi keluarga diatasi dengan
berbagai cara yang sebaik-baiknya. Anak-anak dan anggota keluarganya diberi
pengertian dan kesadaran akan kenyataan, serta keterampilan menghadapinya.
Dalam tipe ini orang tua tunggal (kebanyakan kaum ibu) pada umumnya memiliki
karakteristik kualitas kepribadian tertentu seperti kemandirian yang tinggi,
mampu menerima kenyataan, mampu menangani semua fungsi keluarga, memiliki rasa
tanggung jawab yang tinggi, hubungan sosial yang baik dan terpelihara,
mempunyai ketahanan diri yang kuat, memiliki berbagai kompetensi diri,
konsisten dan karakteristik lainnya.
Tipe kedua yaitu disebut tipe
tergantung. Orang tua tunggal yang tergolong tipe ini hampir mampu mengatasi
berbagai masalahdan tantangan yang timbul akan tetapi kurang kemandirian. Dalam
hal mengatasi berbagai masalah ia banyak bergantung pada berbagai pihak di luar
dirinya, seperti kakak-kakaknya, saudara-saudaranya, kawan-kawannya, atau
relasi suaminya, dsb. Ia kurang yakin akan kemampuan dirinya, ia menganggap
kenyataan ini bukan tanggung jawabnya sendiri, sehingga senantiasa meminta
bantuan orang lain. Misalnya dalam mendidik anak-anaknya, mungik yang satu
diserahkan kepada neneknya, yang satu diserahkan kepada kakaknya, dsb. Biasanya
tipe ini kurang memiliki kemampuan tertentu dan mudah putus asa. Ciri-ciri
lainnya antara lain kurang rasa tanggung jawab, tidak mempunyai pendirian yang
kuat, hubungan sosial yang baik tetapi dalam keadaan ketergantungan, ketahanan
diri yang relatif kurang kuat dsb. Tipe ini mungkin berhasil dalam menghadapi
tantangan dan masalahnya, tergantung bagaimana ia minta bantuan kepada pihak
lain. Tetapi apabila ketergantungannya salah dan kurang kena, maka dapat
berakibat kegagalan dan memunculkan berbagai masalah.
Tipe ketiga, yaitu tipe tak berdaya.
Tipe ini berada dalam keadaan tak berdaya dalam menghadapi berbagai tantangan
dan masalah yang ditimbulkan oleh kenyataan orang tua tunggal. Ia tidak tau apa
yang harus dilakukan, ia terlalu menyerah dengan keadaan tidak berbuat apa-apa,
ia putus asa dan pesimis menghadapi masa depannya. Biasanya tipe ini cencerung
akan mengalami beberapa kegagalan, seperti terputusnya anak-anak untuk sekolah,
berkurangya penghasilan, makin berkurangnya rasa kesejahteraan, makin
menurunnya kondisi kesehatan, munculnya berbagai masalah-masalah psikologis
seperti curiga, putus asa, Frustasi konflik, dsb. Mereka yang tergolong tipe
ini biasanya adalah mereka yang kurang siap menghadapi kenyataan, terlalu besar
ketergantungan kepada suami atau isteri, kurang memiliki kompetensi hidup,
kurang memiliki keterampilan sosial, sikap rendah diri, terlalu emosional, dsb.
Dari ketiga tipe di atas, sudah tentu
harus dihindari munculnya tipe ketiga, dan harus diupayakan munculnya tipe
pertama. Apabila orang tua tunggal mampu mengatasi masalah-masalah seperti
dalam tipe pertama, maka di masa yang akan datang akan berkembang
keluarga-keliarga yang baik dan sejahtera. Peristiwa ketunggalan bukan menjadi
sumber kegagalan akan tetapi memacu untuk mencapai sukses keluarga di masa
mendatang. Dengan keluarga yang sejahtera, pada gilirannya akan mendorong
timbulnya masyarakat dan bangsa yang kuat dan sejahtera. Sebaliknya apabila
ketunggalan itu merupakan suatu kegagalan kehidupan di masyarakat secara luas.
Oleh karena itu, berbagai masalah-masalah yang mucul dalam keluarga tunggal
hendaknya dapat dihindari dan diatasi dengan lebih meningkatkansumber-sumber
psikologis dalam sluruh diri orang tua tunggal dan anggota-anggotanya. Beberapa
saran yang dapat dilakukan adalah antara lain, sebagaimana dikemikakan berikut
ini:
Pertama,
memperkuat dan meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang
beriman dan bertaqwa akan senantiasa menyadari bahwa segala sesuatunya diatr
oleh Allah SWT. Sementara manusia hanya berusaha dan menginginkan. Dengan sikap
yang demikian, maka siapapun akan menyadari bahwa Tuhan lah yang mengatur
segala-galanya, dan hanya kepadanya kita memohon. Situasi ketunggalan orang tua
dihadapinya dengan penuh ketabahan sambil senantiasa memohonpertolongan kepada
Allah SWT. Dengan demikian maka keadaannya tidak dianggap sebagai kegagalan,
akan tetapi sebagi ujian dari Allah SWT untuk terus meningkatkan ketaqwaannya.
Dari kasus ibu-ibu yang sukses sebagai orang tua tungal, ternyata ketaqwaan ini
merupakan pondasi utama.
Kedua, kesiapan diri untuk menghadapi berbagai kemungkinan .
Peristiwa ditinggal oleh salah satu orang tua adalah
merupakan hal yang mungkin akan terjadi pada siapapun.Ini berarti salah satu
tugas perkembangan yang harus dihadapi dalam menempuh hidup berkeluarga, adalah
kesiapan menghadapi kemungkinan terjadinya hal itu. Dengan sikap seperti itu
maka setiap orang sudah sedini mungkin mempertimbangkan dan memperhitungkan
segala kemungkinan yang mungkin terjadi. Apabila sejakdini telah menyadari hal
itu,maka pada saat benar-benar terjadinya peristiwa, ia telah siap untuk menghadapinya.
Dengan demikian dampak-dampak negatif atau kegagalan dapat diminimalkan.
Ketiga, berani menghadapi kenyataan dan bertindak atas dasar
penalaran (rasional) dan bukan atas dasar perasaan (emosional). Sikap ini
sangat diperlukan dalam memperkuat ketahanan diri dalam menghadapi berbagaitantangan
yang dihadapi. Dengan sikap berani menghadapi kenyataan, maka ia akan melihat
bahwa hal itu bukan untuk disesali dan terus bergelimang dalam masalah, akan
tetapi segera bertindak untuk keluar dari masalah.Orang yang telah meninggal
tidak mungkin kembali, akan tetapi kenyataannya adalah bahwa keluarga harus
terus dilestarikan untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Dalam keadaan ini
diperlukan daya nalar yang kuat disertai kemampuan mengendalikan emosi.
Keempat,meningkatkan kemampuan pengendalian diri.Kemampuan
pengendalian diri (self control), adalah merupakan hal yang penting dalam mengendalikan
berbagai dampak dan selanjutnya mengatur
arah berbagai tindakan agar senantiasa dalam rel yang benar menuju ke masa
depan yang lebih baik. Dengan kendali diri yang kuat dan terarah, ia mampu
menghindari berbagai godaan dan cobaan yang dihadapinya dan akan senantiasa
konsisten dengan arah perjalanan hidupnya. Kendali diri ini hendaknya bersifat intrinsik,
artinya keluar dari dalam dirinya atas kesadaran diri dan pemahaman diri secara
benar.
Kelima, mengembangkan berbagai kompetensi diri. Kompetensi
diri adalah berbagai keterampilan yang diperlukan dalam menjalankan kehidupan. Dengan
keterampilan ini maka berbagai masalah dan tantangan dapat diatasi dengan
secara efektif. Berbagai kompetensi diri seperti kompetensi ekonomi yaitu
keterampilan diri untuk mengatasi kebutuhan ekonomi melalui pencarian
sumber-sumber nafkah. Kompetensi social, yaitu keterampilan untuk berineraksi
dengan lingkungan sosial seperti dengan tetangga, relasi, anggota masyarakat
lainnya. Kompetensi diri yaitu berbagai keterampilan untuk mewujudkan diri yang kuat efektif, seperti keterampilan
mengendalikan emosi, keterampilan mengambil keputusan, keterampilan
kepemimpinan dsb.
Keenam,mewujudkan diri secara efektif dan
fungsional. Yang dimaksud dengan upaya ini adalah menjadikan diri sebagai orang
yang mampu melakukan berbagai tindakan yang memberi makna dan bermanfaat. Hal itu
dapat diwujudkan dengan melakukan berbagai kegiatan yang memberi makna dan
bermanfaat baik bagi dirinya sendiri ataupun bagi orang lain. Misalnya mengikuti
berbagai kegiatan sosial, aktif di organisasi, aktif dalam majelis-majelis
taklim (pengajian),mengerjakan kegiatan-kegiatan di rumah, dsb. Dengan demikian
maka semua waktu yang ada dapat dioptimalkan secara bermakna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar