Kamis, 26 Mei 2016

PROBEMA ORANG TUA TUNGGAL



Yang dimaksud dengan orang tua tunggal (dalam konsep Barat disebut single parent) dalam bahasan ini ialah orang tua dalam satu keluarga yang tinggal sendiri yaitu ayah saja atau ibu saja. Orang tua tunggal dapat terjadi karena perceraian, atau karena salah satu meninggalkan kelaurga, atau karena salah satu telah meninggal dunia.
Kejadian itu dapat menimpa siapa saja, baik muda maupun tua dalam kondisi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Mungkin karena suatu sebab ayah meninggal dunia, sehingga ibu menyendiri bersama dengan keluarganya. Dalam keadaan seperti itu orang tua tunggal dihadapkan kepada kenyataan dan tantangan untuk melakukan berbagai tugas dan fungsi keluarga sendiri.

Keluarga tunggal mempunyai situasi dan kondisi khas yang mungkin berbeda dengan keadaan keluarga utuh. Situasi itu akan membawa berbagai kemungkinan munculnya berbagai masalah, termasuk dalam masalah- masalah resiko psikologis. Dalam keluarga tunggal ayah atau ibu harus melaksanakan dua fungsi sekaligus yaitu fungsi ayah dan atau fungsi ibu. Fungsi-fungsi keluarga seperti fungsi ekonomi, fungsi pendidikan, fungsi sosial, fungsi budaya dsb. Harus dipikul sendiri. Misanya, dalam keluarga tunggal, ibu harus berfungsi pencari nafkah dan memecakan berbagai masalah- masalah keluarga disamping fungsi-fungsi lainnya yang sudah biasa dilakukan. Dalam keadaan seperti beberapa masalah psikologis yang muncul antara lain masalah ketiadaan tokoh figur sebagai panutan bagi anak-anak, masalah frustasi, masalah stres atau defresi, masalah konflik ketiadaan teman berkomunikasi komunikasi inter dan antar keluarga, dan masalah- masalah lainnya. Anak-anak kehilangan tokoh figur keteladanan yang biasanya dilakukan bersama ayah. Berbagai kekecewaan akan muncul sebagai akibat berkurangnya pendapatan setelah ketiadaan ayah, sehingga menimbulkan masalah- masalah lainnya. Belum lagi masalah status “janda” bagi kaum ibu akan memberikan dampak psikologis tersendiri. Dan mungkin masih banyak seribu satu macam masalah yang mungkin muncul dalam situasi orang tua tuanggal. Masalah- masalah itu dapat berkembang kearah kerugian keluarga kalau tidak mampu diatasi dengan sebaik-baiknya.

Dalam menghadapi masalah- masalah keliarga tunggal, setiap oran tua akan mempunyai cara dan kiat yang berbeda satu dengan lainnya tergantung kepada kondisi masing-masing. Ada yang mampu bertahan secara mandiri sehingga menjadi sukses dan mungkin lebih sukses bila dibandingkan dengan keluarga utuh. Ada yang menyerah sama sekali kepada keadaan tanpa mampu berbuat apa-apa sehinga berlanjut dengan kehancuran keluarga. Kalau memperhatikan berbagai gejala dan pengalaman bebagai keluarga tunggal dalam menghadapi tantangan hidupnya, maka sekurang-kurangnya ada tiga tipe orang tua tunggal, yaitu tipe mandiri, tipe tergantung dan tipa tak berdaya.

Tipe pertama adalah tipe mandiri yaitu mereka yang mampu menghadapi situasi sebagai orang tua tunggal dan mampu mengatasi masalah-masalahnya dengan sukses. Tipe ini biasanya mampu melanjutkan perjalanan hidup keluarganya dengan sukses. Ia menyadari kenyataan yang dihadapinya dan mampu mengembangkan berbagai ketereampilan hidup untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya. Segala masalah keluarga dapat diatasinya, anak-anaknya mampu dididik sehingga sekolahnya berhasil dan kemudian menjadi keluarga yang sukses. Keadaan ekonomi keluarga diatasi dengan berbagai cara yang sebaik-baiknya. Anak-anak dan anggota keluarganya diberi pengertian dan kesadaran akan kenyataan, serta keterampilan menghadapinya. Dalam tipe ini orang tua tunggal (kebanyakan kaum ibu) pada umumnya memiliki karakteristik kualitas kepribadian tertentu seperti kemandirian yang tinggi, mampu menerima kenyataan, mampu menangani semua fungsi keluarga, memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, hubungan sosial yang baik dan terpelihara, mempunyai ketahanan diri yang kuat, memiliki berbagai kompetensi diri, konsisten dan karakteristik lainnya.

Tipe kedua yaitu disebut tipe tergantung. Orang tua tunggal yang tergolong tipe ini hampir mampu mengatasi berbagai masalahdan tantangan yang timbul akan tetapi kurang kemandirian. Dalam hal mengatasi berbagai masalah ia banyak bergantung pada berbagai pihak di luar dirinya, seperti kakak-kakaknya, saudara-saudaranya, kawan-kawannya, atau relasi suaminya, dsb. Ia kurang yakin akan kemampuan dirinya, ia menganggap kenyataan ini bukan tanggung jawabnya sendiri, sehingga senantiasa meminta bantuan orang lain. Misalnya dalam mendidik anak-anaknya, mungik yang satu diserahkan kepada neneknya, yang satu diserahkan kepada kakaknya, dsb. Biasanya tipe ini kurang memiliki kemampuan tertentu dan mudah putus asa. Ciri-ciri lainnya antara lain kurang rasa tanggung jawab, tidak mempunyai pendirian yang kuat, hubungan sosial yang baik tetapi dalam keadaan ketergantungan, ketahanan diri yang relatif kurang kuat dsb. Tipe ini mungkin berhasil dalam menghadapi tantangan dan masalahnya, tergantung bagaimana ia minta bantuan kepada pihak lain. Tetapi apabila ketergantungannya salah dan kurang kena, maka dapat berakibat kegagalan dan memunculkan berbagai masalah.

Tipe ketiga, yaitu tipe tak berdaya. Tipe ini berada dalam keadaan tak berdaya dalam menghadapi berbagai tantangan dan masalah yang ditimbulkan oleh kenyataan orang tua tunggal. Ia tidak tau apa yang harus dilakukan, ia terlalu menyerah dengan keadaan tidak berbuat apa-apa, ia putus asa dan pesimis menghadapi masa depannya. Biasanya tipe ini cencerung akan mengalami beberapa kegagalan, seperti terputusnya anak-anak untuk sekolah, berkurangya penghasilan, makin berkurangnya rasa kesejahteraan, makin menurunnya kondisi kesehatan, munculnya berbagai masalah-masalah psikologis seperti curiga, putus asa, Frustasi konflik, dsb. Mereka yang tergolong tipe ini biasanya adalah mereka yang kurang siap menghadapi kenyataan, terlalu besar ketergantungan kepada suami atau isteri, kurang memiliki kompetensi hidup, kurang memiliki keterampilan sosial, sikap rendah diri, terlalu emosional, dsb.

Dari ketiga tipe di atas, sudah tentu harus dihindari munculnya tipe ketiga, dan harus diupayakan munculnya tipe pertama. Apabila orang tua tunggal mampu mengatasi masalah-masalah seperti dalam tipe pertama, maka di masa yang akan datang akan berkembang keluarga-keliarga yang baik dan sejahtera. Peristiwa ketunggalan bukan menjadi sumber kegagalan akan tetapi memacu untuk mencapai sukses keluarga di masa mendatang. Dengan keluarga yang sejahtera, pada gilirannya akan mendorong timbulnya masyarakat dan bangsa yang kuat dan sejahtera. Sebaliknya apabila ketunggalan itu merupakan suatu kegagalan kehidupan di masyarakat secara luas. Oleh karena itu, berbagai masalah-masalah yang mucul dalam keluarga tunggal hendaknya dapat dihindari dan diatasi dengan lebih meningkatkansumber-sumber psikologis dalam sluruh diri orang tua tunggal dan anggota-anggotanya. Beberapa saran yang dapat dilakukan adalah antara lain, sebagaimana dikemikakan berikut ini:

Pertama, memperkuat dan meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang beriman dan bertaqwa akan senantiasa menyadari bahwa segala sesuatunya diatr oleh Allah SWT. Sementara manusia hanya berusaha dan menginginkan. Dengan sikap yang demikian, maka siapapun akan menyadari bahwa Tuhan lah yang mengatur segala-galanya, dan hanya kepadanya kita memohon. Situasi ketunggalan orang tua dihadapinya dengan penuh ketabahan sambil senantiasa memohonpertolongan kepada Allah SWT. Dengan demikian maka keadaannya tidak dianggap sebagai kegagalan, akan tetapi sebagi ujian dari Allah SWT untuk terus meningkatkan ketaqwaannya. Dari kasus ibu-ibu yang sukses sebagai orang tua tungal, ternyata ketaqwaan ini merupakan pondasi utama.

Kedua, kesiapan diri untuk menghadapi berbagai kemungkinan .
Peristiwa ditinggal oleh salah satu orang tua adalah merupakan hal yang mungkin akan terjadi pada siapapun.Ini berarti salah satu tugas perkembangan yang harus dihadapi dalam menempuh hidup berkeluarga, adalah kesiapan menghadapi kemungkinan terjadinya hal itu. Dengan sikap seperti itu maka setiap orang sudah sedini mungkin mempertimbangkan dan memperhitungkan segala kemungkinan yang mungkin terjadi. Apabila sejakdini telah menyadari hal itu,maka pada saat benar-benar terjadinya peristiwa, ia telah siap untuk menghadapinya. Dengan demikian dampak-dampak negatif atau kegagalan dapat diminimalkan.

Ketiga, berani menghadapi kenyataan dan bertindak atas dasar penalaran (rasional) dan bukan atas dasar perasaan (emosional). Sikap ini sangat diperlukan dalam memperkuat ketahanan diri dalam menghadapi berbagaitantangan yang dihadapi. Dengan sikap berani menghadapi kenyataan, maka ia akan melihat bahwa hal itu bukan untuk disesali dan terus bergelimang dalam masalah, akan tetapi segera bertindak untuk keluar dari masalah.Orang yang telah meninggal tidak mungkin kembali, akan tetapi kenyataannya adalah bahwa keluarga harus terus dilestarikan untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Dalam keadaan ini diperlukan daya nalar yang kuat disertai kemampuan mengendalikan emosi.

Keempat,meningkatkan kemampuan pengendalian diri.Kemampuan pengendalian diri (self control), adalah merupakan hal yang penting dalam mengendalikan berbagai dampak  dan selanjutnya mengatur arah berbagai tindakan agar senantiasa dalam rel yang benar menuju ke masa depan yang lebih baik. Dengan kendali diri yang kuat dan terarah, ia mampu menghindari berbagai godaan dan cobaan yang dihadapinya dan akan senantiasa konsisten dengan arah perjalanan hidupnya. Kendali diri ini hendaknya bersifat intrinsik, artinya keluar dari dalam dirinya atas kesadaran diri dan pemahaman diri secara benar.

Kelima, mengembangkan berbagai kompetensi diri. Kompetensi diri adalah berbagai keterampilan yang diperlukan dalam menjalankan kehidupan. Dengan keterampilan ini maka berbagai masalah dan tantangan dapat diatasi dengan secara efektif. Berbagai kompetensi diri seperti kompetensi ekonomi yaitu keterampilan diri untuk mengatasi kebutuhan ekonomi melalui pencarian sumber-sumber nafkah. Kompetensi social, yaitu keterampilan untuk berineraksi dengan lingkungan sosial seperti dengan tetangga, relasi, anggota masyarakat lainnya. Kompetensi diri yaitu berbagai keterampilan untuk  mewujudkan diri yang kuat efektif, seperti keterampilan mengendalikan emosi, keterampilan mengambil keputusan, keterampilan kepemimpinan dsb.

Keenam,mewujudkan diri secara efektif dan fungsional. Yang dimaksud dengan upaya ini adalah menjadikan diri sebagai orang yang mampu melakukan berbagai tindakan yang memberi makna dan bermanfaat. Hal itu dapat diwujudkan dengan melakukan berbagai kegiatan yang memberi makna dan bermanfaat baik bagi dirinya sendiri ataupun bagi orang lain. Misalnya mengikuti berbagai kegiatan sosial, aktif di organisasi, aktif dalam majelis-majelis taklim (pengajian),mengerjakan kegiatan-kegiatan di rumah, dsb. Dengan demikian maka semua waktu yang ada dapat dioptimalkan secara bermakna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar